Senin, 06 Februari 2017

Hal-Hal Yang Membatalkan Tayammum

Assalamualaikum wr wb
Kehidupan dunia ini hanya sementara, kehidupan yang kekal yaitu di akhirat. Orang yang mengetahui akan hal ini akan merugi kelak apabila ia tidak mempersiapkan bekal untuk di akhirat.
Tayammum adalah salah satu macam dari thaharah atau bersuci. Ada beberapa hal yang bisa merusak atau membatalkan tayammum. Jika salah satu dikerjakan setelah tayammum, maka tayammum yang telah dikerjakan menjadi rusak atau batal. Adapun hal-hal yang membatalkan tayammum ada 3, yaitu:

1. Segala sesuatu yang membatalkan wudhu


Segala sesuatu yang membatalkan wudhu, seperti menyentuh kemaluan, hilangnya akal dll, jika terjadi setelah tayammum maka tayammum menjadi rusak atau batal. hal ini dikarenakan tayammum sama seperti wudhu karena menggantikan wudhu ketika tidak mendapatkan air. Segala sesuatu yang membatalkan wudhu jika terjadi setelah tayammum juga membatalkan tayammum, tetapi hanya berlaku jika tayammum yang dilakukan adalah pengganti wudhu. Adapun ketika tayammum yang dilakukan adalah pengganti mandi, maka tidak batal tayammumnya meski mengerjakan hal-hal yang membatalkan wudhu. Hanya saja katika hendak shalat atau ibadah yang memerlukan bersuci, maka diharuskan untuk berwudhu atau tayammum lagi sebagai pengganti dari wudhu .

2. Murtad

Murtad adalah keluar dari agama islam, dengan ucapan, perbuatan atau keyakinan. Seorang yang telah bertayammum, kemudian murtad, maka tayammum yang telah dikerjakan menjadi rusak atau batal. Karena tayammum adalah bentuk thaharah/bersuci yang lemah. Karena tayammum adalah bentuk keringanan supaya diperbolehkan mengerjakan ibadah yang memerlukan bersuci terlebih dahulu. Hal ini berbeda dengan wudhu. Ketika
seorang murtad ketika sedang wudhu atau setelah wudhu maka wudhunya tidak batal. Karena wudhu merupakan thaharah/bersuci untuk mengangkat hadast, sehingga disebut thaharah yang kuat. Tetapi, jika seorang murtad ketika sedang wudhu kemudian masuk islam lagi, maka tidak perlu mengulangi wudhu dari awal. Tetepi meneruskan wudhunya dengan memperbarui niatnya kembali.

3. Menyangka adanya air jika bertayammum karena tidak ada air

Telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa sebab-sebab orang bertayammum ada 3, yaitu: tidak ada air, sakit dan membutuhkan air karena hayawan muhtaram yang kehausan. Orang yang tayammum karena sakit atau memerlukan air untuk minum, maka tidak rusak atau batal tayammumnya dengan ada atau tidak adanya air. Adapun orang yang bertayammum karena tidak ada air, maka bisa rusak atau batal tayammumnya dengan menyangka atau meyakini ada air dengan beberapa perincian sebagai berikut:

a. Jika menyangka ada air sebelum shalat dan tidak ada penghalang menuju air, maka tayammumnya batal.

b. Jika menyangka ada air sebelum shalat tetapi ada penghalang untuk sampai ke tempat air berada, maka tayammumnya tidak batal.

c. Jika menyangka ada air ketika shalat, maka tayammumnya tidak batal.

d. Jika meyakini ada air ketika shalat, tetapi shalat yang dilakukan dengan tayammum wajib qodho’, maka shalat dan tayammumnya batal.
Contoh: ketika seorang bertayammum di tempat yang biasanya terdapat air (tetapi waktu tayammum sedang tidak ada air), namun ketika sedang shalat dengan tayammum tersebut melihat ada rombongan membawa air, maka shalat dan tayammumnya batal.

e. Jika meyakini ada air ketika shalat dan shalat tersebut tidak wajib untuk mengqodho’, maka shalatnya sah. Dan diperbolehkan untuk memilih antara membatalkan shalat kemudian wudhu atau meneruskan shalat hingga selesai. Contoh: ketika seorang bertayammum di daerah yang biasanya tidak ada air, kemudian shalat dan di tengah shalat melihat air, maka shalatnya tetap sah dan diberi pilihan antara meneruskan shalat hingga selesai atau membetalkan shalat dan mengulanginya setelah berwudhu.

Demikian pembahasan kali ini, semoga ini akan menambah pengetahuan kita tentang ilmu agama islam dan senantiasa mengamalkannya di saat kita harus bertayammum.

Terimakasih....

Minggu, 05 Februari 2017

Fardhu tayammum


Assalamualaikum wr wb
Sebagaimana dalam wudhu dan mandi memiliki fardhu atau hal-hal yang wajib dilakukan, tayammum juga memiliki fardhu atau hal-hal yang wajib dilakukan juga.

Adapun fardhu-fardhu tayammum ada 5, yaitu:

1. Memindah debu

Syarat tayammum yang pertama adalah memindah debu dari tanah atau tempat yang lainnya ke angota tayammum. Tempat mengambil debu tidak harus dari tanah atau semisalnya, boleh juga bertayammum dengan debu yang menempel pada anggota tayammum (wajah dan tangan). Gambarannya adalah ketika di kedua tangan terdapat debu sebelum tayammum, kemudian debu tersebut diambil dengan telapak tangan dan diusapkan ke wajah dengan niat tayammum. Gambaran yang kedua adalah setelah mengusap wajah dengan debu, angin berhembus membawa debu dan menempel di wajah. Kemudian debu yang berada di wajah diambil dengan telapak tangan dan diusapkan ke tangan.

2. Niat

Dalam tayammum diwajibkan juga untuk niat, karena hal ini termasuk dalam sabda Rasulullah sallallhu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi: “Hanya saja ke-sah-an amal tergantung pada niat.” Niat dalam bertayammum beda dengan niat dalam wudhu. Adapun niat tayammum adalah niat supaya diperbolehkan untuk shalat dan tidak boleh niat untuk mengangkat hadast, karena tayammum tidak mengangkat hadast tetapi hanya memperbolehkan untuk mengerjakan hal-hal yang diharamkan bagi orang yang berhadast. Adapun waktu niat tayammum adalah membarengi niat mulai memindah debu dan terus-menerus niat tersebut hingga mengusap bagian dari wajah. Dan ketika debu menempel bagian wajah dibarengi niat supaya diperbolehkan untuk shalat. Tingkatan niat dalam tayammum Dalam tayammum, niat yang dilakukan memiliki tingkatan masing-masing dan mempengaruhi ibadah yang akan dikerjakan. Adapun tingkatan dalam niat terbagi menjadi 3, yaitu:

a. Niat supaya diperbolehkan mengerjakan shalat fardhu atau thawaf yang wajib. Jika niat dalam tayammum adalah niat seperti ini maka diperbolehkan mengerjakan satu fadhu, semua shalat sunnah dan semua ibadah yang memerlukan untuk tayammum, seperti menyentuh mushaf dan sujud syukur.

b. Niat supaya diperbolehkan mengerjakan shalat (tanpa kata farhu), shalat sunnah, thawaf (tanpa kata fardhu) atau shalat jenazah. Jika niat dalam tayammum adalah niat seperti ini, maka diperbolehkan untuk mengerjakan semua shalat sunnah dan semua ibadah yang memerlukan untuk tayammum. Tetapi tidak diperbolehkan untuk mengerjakan ibadah yang fardhu ain, seperti shalat fardhu dan thawaf wajib.

c. Niat supaya diperbolehkan menyentuh mushaf atau segal sesuatu yang membutuhkan niat. Jika niat dalam tayammum adalah niat seperti ini maka diperbolehkan mengerjakan hal-hal yang membutuhkan tayammum, seperti sujud tilawah dan sujud syukur. Tetapi tidak diperbolehkan mengerjakan shalat ibadah fardhu maupun shalat sunnah.

3. Mengusap wajah

Mengusap wajah adalah bagian dari fardhu tayammum. Allah berfirman dalam Alquran: “Maka usaplah wajah kalian dan kedua tangan kalian.” Batasan mengusap wajah yang wajib dilakukan ketika tayammum adalah sama dengan membasuh muka ketika wudhu, yaitu dari tempat tumbuhnya rambut kepala sampai ujung dagu. Dan dari telinga ke telinga yang lainnya. Tetapi tidak wajib mengusap bagian tempat tumbuhnya rambut dengan debu. Termasuk yang wajib diusap ketika tayammum adalah bagian jenggot yang tampak dan ujung hidung yang menghadap ke arah bibir atas.

4. Mengusap kedua tangan sampai siku 

Fardhu tayammum yang keempat adalah mengusap tangan sampai siku sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah. Adapun tata-cara yang disunnahkan dalam mengusap kedua tangan adalah menaruh jari-jari tangan kiri diatas punggung jari-jari tangan kanan selain ibujari, sekiranya ujung jari-jari tangan kanan tidak melebihi telunjuk tangan kiri. Kemudian menggerakan tangan kiri menuju pergelangan tangan kanan. Ketika telah sampai pergelangan tangan kanan, maka jari-jari tangan kiri ditekan dan digerakan menuju siku. Setelah mencapai siku, jari;jari tangan kiri diputar ke kiri. Kemudian telapak tangan kiri, yang masih berdebu disentuhkan ke lengan dan digerakan menuju pergelangan dengan mengangkat jempol/ ibu jari tangan kiri. Setelah mencapai pergelangan, maka ibujari tangan kiri diletakkan pada punggung ibujari tangan kanan. Untuk mengusap tangan kiri, maka cara yang dilakukan sama seperti mengusap tangan kanan.

5. Tertib antara dua usapan

Dalam usapan ketika bertayammum, maka harus berurutan antara usapan muka dan tangan. Tidak boleh mendahulukan usapan tangan dan mengakhirkan usapan muka. Jikamengusap tangan terlebih dahulu kemudian mengusap muka, maka yang dianggap sah adalah usapan muka. Sedang usapan pada tangan tidak sah. Sunnah-sunnah dalam tayammum Pekerjaan-pekerjaan yang disunnahkan dalam tayammum yaitu segala sunnah wudhu yang bisa dilakukan ketika bertayammum, selain mengusap sebanyak tiga kali, menyela-nyelai jenggot. Sehingga dalam tayammum tidak disunnahkan mengulangi usapan sampai tiga kali dan menyela-nyelai jenggot.

Dan sunnah-sunnah dalam tayammum yang lain ada 5, yaitu:

1. Merenggangkan jari-jari.

2. Menyedikitkan debu setelah mengambil debu.

3. Tidak mengangkat tangannya dari anggota tayammum yang sedang diusap hingga selesai.

4. Melepas cincin untuk mengambil debu pertama kali. Adapun melepas cincin ketika mengambil debu untuk yang kedua, maka hukumnya wajib jika cincin tersebut menghalangi debu sampai ke kulit.

5. Tidak mengusap debu pada anggota tayammum sampai seselai shalat.

Lengkap sudah pembahasan kali ini, terimakasih telah membaca semoga dapat difahami.

Wassalam......

Jumat, 03 Februari 2017

Syarat-Syarat Tayammum

Assalamualaikum wr wb
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa tayammum adalah salah satu bentuk bersuci. Baik bersuci untuk mengangkat hadast kecil (pengganti wudhu) atau mengangkat hadast besar (pengganti mandi). Hanya saja dalam bertayammum, alat yang digunakan untuk bersuci adalah debu, bukan air. Sehingga ketentuan, syarat dan pelaksanaanya juga berbeda dari wudhu atau mandi.

Syarat-Syarat Sah Tayammum 


1. Hendaknya bertayammum dengan debu

Tayammum hanya sah dengan debu. Jika bukan dengan debu maka tidak sah tayammumnya, seperti bertayammum dengan pasir. Allah berfirman dalam Alquran:  “...... maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci)….” (QS. AnNisa: 43) Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dijadikan untuk kami
seluruh bumi sebagai masjid, dan tanahnya suci mensucikan.”

2. Hendaknya debunya adalah suci

Debu yang digunakan untuk bertayammum adalah debu yang suci. Sehingga tidak sah debu yang najis (seperti debu yang terbuat dari kotoran hewan) atau debu yang mutanajjis (seperti debu yang tercampur dengan sesuatu yang najis).

3. Hendaknya debunya tidak musta'mal 

Debu yang digunakan untuk bertayammum bukan debu yang musta'mal. Debu musta'mal tetap dihukumi debu yang suci tetapi tidak bisa digunakan untuk bertayammum. Debu musta'mal terbagi menjadi 2, yaitu:

a. Debu musta'mal dalam mengangkat hadast, yaitu debu yang menempel pada anggota tayammum dan yang berjatuhan darinya.

b. Debu musta'mal dalam menghilangkan najis, yaitu debu yang digunakan untuk mengsucikan najis mugholadhoh pada basuhan terakhir (ke-7). Adapun debu yang digunakan untuk mensucikan najis mugholadhoh tetapi bukan untuk basuhan yang terakhir maka debu tersebut adalah najis. Jika debu yang digunakan adalah debu-debu tersebut maka tayammum tidak sah.

4. Hendaknya debu tidak bercampur dengan tepung atau semisalnya

Debu yang digunakan untuk bertayammum adalah debu yang murni. Tidak sah menggunakan debu yang bercampur dengan benda lain seperti tepung, semen dll. Baik campurannya sedikit ataupun banyak. Hal ini dikarenakan, jika debu bercampur dengan benda lain, maka debu akan terhalang untuk sampai kepada anggota tayammum. Ukuran sedikit atau banyaknya benda yang mencampuri debu adalah ketika campuran tersebut terlihat oleh mata maka campuran tersebut dihitung banyak. Jika tidak terlihat oleh mata maka sedikit. Permasalahan Jika debu bercampur dengan air musta'mal (air yang telah digunakan untuk membasuh basuhan wajib seperti membasuh muka pertama kali ketika wudhu) kemudian kering, maka debu tersebut tetap bisa digunakan untuk bertayammum.

5. Hendaknya menyengaja pada debu

Bagi orang yang bertayammum, wajib untuk memindah debu dari tempatnya secara sengaja ke wajah dan tangan, baik yang memindah debu adalah dirinya sendii, orang lain, anak kecil maupun orang kafir tetapi harus dengan ijin dari orang yang bertayammum. Jika debu berterbangan sehingga menempel pada muka dan tangannya, kemudian diusap-usapkan dengan niat untuk bertayammum, maka tayammum tidak sah. Hal ini dikarenakan tidak adanya kesengajaan dalam memindah debu ke anggota tayammum.

6. Hendaknya mengusap wajah dan kedua tangan dengan dua pukulan.

Pukulan yang dimaksud adalah pukulan dalam mengambil debu. Maka disyaratkan dengan dua kali pukulan atau tepukan ke debu. Sehingga tidak sah jika hanya dengan satu tepukan saja, seperti menempelkan kain ke debu satu kali kemudian sebagian kain digunakan untuk mengusap wajah dan sebagian lain digunakan untuk mengusap tangan. Adapun ketika debu berterbangan terbawa angin, kemudian telapak tangan dihadangkan ke debu tersebut dan digunakan untuk mengusap muka, kemudian melakukan kedua kalinya dan digunakan untuk mengusap kedua tangan, maka sah tayammumnya. Karena ada kesengajaan untuk memindah debu dari udara ke tangan dan dilakukan dengan dua kali.

7. Hendaknya menghilangkan najis terlebih dahulu

Orang yang bertayammum disyaratkan untuk mengjilangkan najis yang menempel di badannya terlebih dahulu. Meskipun najis tersebut bukan berada di anggota tayammum. Najis yang wajib dihilangkan adalah najis yang tidak dimaafkan oleh syariat. Adapun najis yang dimaafkan maka tidak wajib untuk dihilangkan. Najis-najis yang dimaafkan dan yang tidak dimaafkan akan dibahas dalam BAB Najis. Hal ini berbeda dengan wudhu (dalam wudhu tidak disyaratkan menghilangkan najis terlebih dahulu) karena wudhu bertujuan mengangkat hadast. Dan hadast bisa terangkat atau hilang meskipun tanpa menghilangkan najis. Sedang dalam tayammum wajib menghilangkan najis terlebih dahulu karena tayammum bertujuan supaya diperbolehkan mengerjakan shalat bukan untuk mengangkat hadast. Sedang syarat shalat diantaranya adalah bersih dari najis. Sehingga supaya diperbolehkan untuk tayammum maka disyaratkan untuk menghilangkan najis terlebih dahulu, supaya diperbolehkan mengerjakan shalat. Jika bertayammum tanpa menghilangkan najis terlebih dahulu, padahal mampu untuk menghilangkannya, maka tayammumnya tidak sah. Tetapi ketika tidak bisa menghilangkan najis terlebih dahulu (seperti tidak ada air untuk menghilangkan najis), maka tayammum yang dilakukan sah dan wajib mengqodho’ shalatnya.

8. Hendaknya berusaha mencari arah kiblat sebelum tayammum

Ketika hendak bertayammum, maka disyaratkan untuk berusaha mencari arah kiblat terlebih dahulu. Tetapi jika telah mengetahui arah kiblat sebelumnya, seperti bertayammum di sebelah masjid, maka tidak perlu untuk mencari arah kiblat lagi. Namun sebagian ulama, seperti Imam Romli dan Assyarqowi berkata, tidak disyaratkan untuk mencari kiblat sebelum tayammum. Sehingga sah tayammum meski sebelum mencari arah kiblat.

9. Hendaknya tayammum dilakukan setelah masuknya waktu shalat

Tayammum yang dilakukan harus benar-benar/ yakin setelah masuk waktu shalat yang ingin dikerjakan. Karena tayammum adalah thaharah yang darurat. Dan tidak bisa dikatakan darurat ketika belum masuk waktu, karena belum ada kewajiban mengerjakan shalat. Sehingga disyaratkan masuk waktu shalat sebelum melakukan tayammum. Masuknya waktu shalat berbeda-beda pada setiap shalat yang akan dikerjakan. Perinciannya adalah sebagai berikut.

a. Ketika ingin mengerjakan shalat fardhu, maka tayammum harus dikerjakan setelah masuk waktu fardhu.

b. Ketika ingin mengerjakan shalat jenazah, maka tayammum harus dilakukan setelah mayit dimandikan.

c. Ketika ingin mengerjakan shalat sunnah yang memiliki waktu, maka tayammum harus dilakukan setelah masuk waktunya. Seperti ketika ingin melaksanakan shalat dhuha, maka harus bertayammum setelah masuk waktu shalat dhuha.

d. Ketika ingin mengerjakan shalat sunnah yang disunnahkan karena sebab tertentu, maka tayammum harus dilakukan ketika telah tiba waktu diperbolehkan mengerjakan shalat tersebut. Seperti ketika hendak mengerjakan shalat tahiyatul masji, maka tayammum harus dikerjakan setelah masuk masjid.

e. Ketika ingin mengerjakan shalat sunnah mutlak, maka bertayammum kapan saja selain di waktu dilarang mengerjakan shalat-shalat tersebut, seperti setelah shalat ashar.

10. Hendaknya bertayammum untuk setiap fardhu

Seorang yang bertayammum untuk mengerjakan sesuatu yang fardhu, shalat ataupaun bukan shalat (seperti thawaf wajib), maka harus bertayammum setiap kali hendak melaksanakan ibadah fardhu tersebut. Fardhu yang dimaksud adalah fardhu ain. Baik fardhu tersebut karena sudah menjadi kewajibannya (seperti shalat fardhu) atau karena dinadzari. Sehingga tidak dibolehkan menggabungkan dua ibadah fardhu dengan satu tayammum saja. Tetapi satu tayammum untuk satu fardhu. Adapun fardhu kifayah, seperti shalat jenazah, dan sunnah, maka diperbolehkan mengumpulkan ibadah tersebut meski hanya dengan satu tayammum saja. Sehingga setelah mengerjakan shalat fardhu, misalnya, maka boleh mengerjakan shalat sunnah yang lainnya tanpa perlu bertayammum lagi. Begitu juga ketika ingin mengerjakan shalat sunnah, maka hanya diperlukan tayammum satu kali saja dan mengerjakan shalat sunnah sebanyak mungkin.

Alhamdulillah, tak terasa kesepuluh syarat tayammum sudah saya bahas, semoga dapat difahami dan diamalkan oleh pembaca ketika di suatu saat ingin bertayammum karena kondisi yang mengharuskan kita tayammum. Mohon maaf jika ada kesalahan dan terimakasih telah membaca.

Wassalam...,

Kamis, 02 Februari 2017

Sebab-sebab Tayammum


Assalamu alaikum wr wb
Selamat malam, semoga kita selalau menanam kebaikan. Karena hal baik yang kita tanam akan kita rasakan buahnya. Tayammum adalah menggunakan debu ke muka dan kedua tangan dengan cara yang dikhususkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Alquran “Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan sedangkan kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Penganmpun.” (An-nisa :43) Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dijadikan untuk kami seluruh bumi sebagai masjid, dan tanahnya suci mensucikan.” Tayammum bisa menjadi pengganti wudhu ketika tidak mendapatkan air untuk berwudhu, juga sebagai pengganti mandi besar ketika terkena kewajiban mandi tapi tidak mendapatkan air. Seorang diperbolehkan bertayammum ketika terjadi dalam dirinya salah satu dari hal-hal yang memperbolehkan tayammum. Jika ada satu saja hal yang memperbolahkan tayammum, maka dia diperbolehkan bertayammum.

Adapun sebab-sebab/ hal-hal yang memperbolehkan tayammum ada 3, yaitu:

1. Tidak ada air

Jika seorang tidak bisa menggunakan air maka diperbolehkan untuk bertayammum. Yang dimaksud dengan ‘tidak bisa menggunakan air’ adalah tidak bisa memakai air karena kenyataannya tidak mendapatkan air setelah berusaha mencarinya atau mendapatkan air tapi ada hal-hal yang mencegah dirinya menggunakan air. Beberapa contoh ada air tapi tidak bisa menggunakannya karena beberapa hal, yaitu:

a. Seorang mendapatkan air tapi juga membutuhkannya untuk minum hayawan muhtarom. Maka orang tersebut bertayammum dan airnya digunakan untuk minum.

b. seorang mendapatkan air dijual dengan harga diatas rata-rata daerah tersebut.

c. Seorang mendapatkan air namun ada bahaya yang menghadang sebelum mencapai air seperti binatang buas.

d. Seorang mendapatkan air tetapi tidak bisa menggunakannya dikarenakan sakit. Jika terjadi pada diri seseorang salah satu gambaran dari contoh diatas maka dia diperbolehkan tayammum.

Permasalahan

a. Jika seorang meyakini tidak ada air maka tidak perlu mencari air tetapi langsung tayammum. Namun jika ada prasangka ada air di sekelilingnya maka wajib mencari air hingga mencapai haddul ghaust atau seukuran 150 m. jika berprasangka ada air di luar batas tersebut maka tidak wajib mencari air. Jika meyakini adanya air di daerah yang lebih dari 150 m, maka wajib mencari air hingga mencapai 4,5 km. lebih dari jarak tersebut tidak wajib mencari air, tetapi langsung bertayammum. Kewajiban mencari air dalam batasan-batasan tersebut hanya bagi orang yang merasa aman dirinya, anggota tubuh, harta, terpisah dari rombongan dan keluar waktu shalat. Tetapi jika ia mencari air dalam batasan tersebut akan terancam bahaya, baik dirinya, anggota tubuhnya, harta dll, maka tidak wajib mencari air.

b. Jika memiliki air yang hanya cukup untuk membasuh beberapa anggota wudhu saja, maka air tersebut digunakan untuk berwudhu secukupnya, setelah itu bertayammum.

2. Sakit

Sebab yang kedua, yang memperbolehkan seorang bertayammum adalah sakit. Namun tidak semua penyakit yang menimpa yang memperbolehkan untuk bertayammum. Sakit yang memperbolahkan seseorang untuk bertayammum adalah sakit yang sekiranya jika memakai air akan menimbulkan hal buruk pada dirinya, manfaat anggota tubuhnya, menambah lama masa penyembuhan atau terjadi perubahan yang buruk pada anggota tubuhnya. Jika orang yang sakit menggunakan air, maka akan muncul hal-hal tersebut, maka diperbolehkan untuk bertayammum. Namun ada keterangan dari dokter bahwa jika orang yang sakit tersebut jika menggunakan air akan muncul hal-hal tersebut. Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan hukum bertayammum bagi orang yang sakit, yaitu:

a. Wajib
Seorang yang sakit wajib bertayammum dan tidak boleh menggunakan air jika ketika menggunakan air ditakutkan akan binasa (mati).

b. Boleh
Boleh bertayammum bagi orang yang sakit, yang ketika menggunakan air akan menimbulkan bahaya- bahaya yang telah disebutkan diatas

c. Haram
Orang yang sakit haram menggunakan air jika sakit yang diderita adalah sakit yang ringan, sekiranya tidak ada bahaya apapun ketika menggunakan air.

Permasalahan

a. Seorang yang takut menggunakan air di sebagian tubuhnya. Maka terlebih dahulu harus membasuh yang tidak terluka. Kemudian jika dia berwudhu maka bertayammum ketika membasuh bagian yang tidak terluka.
Contoh: ketika seorang luka bagian tangan atau telapak kakinya dan tidak mungkin dibasuh dengan air ketika wudhu. Maka terlebih dahulu yang wajib dilakukan adalah berwudhu seperti biasa. Kemudian ketika hendak membasuh tangan atau kaki, maka membasuh bagian yang tidak terluka dengan air. Adapun bagian yang luka tidak perlu dibasuh, tetapi diganti dengan tayammum di wajah dan tangan. Dari sini, jika yang terluka adalah 2 anggota wudhu, seperti tangan dan telapak kaki, maka wajib mengerjakan 2 kali tayammum. Adapun seorang yang terkena kewajiban mandi tetapi ada bagian tubuh yang tidak mungkin dibasuh dengan air karena luka, maka ia wajib tayammum sebagai pengganti dari membasuh luka tersebut. Adapun waktunya bisa sebelum mandi atau setelah mandi.

b. Seorang yang luka dan luka tersebut tertutup dengan sesuatu, seperti perban dll. Seorang yang lukanya tertutup oleh perban, misalnya, maka wajib untuk mencabutnya dalam 3 gambaran, yaitu:

1. Jika dilepas maka memungkinkan membasuh bagian yang terluka dengan air.

2. Tidak mungkin dilepas tetapi perban menutup bagian yang tidak terluka. Maka wajib dilepas untuk membasuh bagian yang tidak terluka.

3. Perban terletak di anggota tayammum (tangan dan wajah) dan jika dilepas bisa mengusap bagian yang terluka dangan debu. Jika salah satu dari gambaran tersebut terjadi, maka wajib melepas perban atau semisalnya. Hal ini wajib dilakukan jika tidak dikhawatirkan hal-hal yang membahayakan diri, anggota badan, bertambah lama masa sembuh dll. Jika dikhawatirkan akan terjadi hal-hal tersebut maka tidak wajib melepas perban dan semisalnya. Tetapi yang wajib dilakukan adalah membasuh bagian yang tidak terluka, mengusap dengan air bagian atas perban dan bertayammum sebagai pengganti dari bagian tubuh yang terluka. 

Tambahan :

Orang lukanya tertutup perban atau semisalnya dan tidak mungkin untuk melepasnya, maka adakalanya wajib mengqodho’ shalat yang telah dikerjakan, namun adakalanya tidak wajib mengqodho’. Orang yang lukanya tertutup perban wajib mengqodho’ shalatnya dalam 3 gambaran, yaitu:

1. Penutup luka atau perban terletak di anggota tayammum (wajah atau tangan). Maka wajib mengqodho’ shalatnya, baik menaruh penutup tersebut setelah bersuci (wudhu) terlebih dahulu atau tidak. Baik penutup atau perban tersebut mengambil bagian tubuh yang sehat ataupun tidak. Maka ketika menaruh penutup luka atau perban di anggota tayammum maka wajib mengqodho’ shalat yang telah dikerjakan selama memakai perban.

2. Penutup luka atau perban tidak terletak di anggota tayammum, tetapi mengambil bagian yang tidak terluka melebihi ukuran untuk menahan perban agar tidak terlepas. Maka wajib mengqodho’ shalatnya, baik menaruh penutup tersebut setelah bersuci (wudhu) terlebih dahulu atau tidak.

3. Penutup luka atau perban mengambil bagian yang tidak terluka, tetapi hanya sebatas untuk menahan agar penutup atau perban tidak terlepas. Maka wajib mengqodho’ shalat tetapi jika meletakan penutup tersebut sebelum bersuci (berwudhu) terlebih dahulu. 
Tidak wajib mengqodho’ shalat dalam 2 gambaran, yaitu:

1. Penutup luka atau perban tidak mengambil bagian yang tidak terluka dan bukan terletak di anggota tayammum. Maka tidak wajib mengqodho’, baik menaruh penutup luka dalam keadaan bersuci terlebih dahulu ataupun tidak.

2. Penutup luka atau perban mengambil bagian yang tidak terluka hanya sebatas ukuran untuk menahan penutup atau perban agar tidak terlepas dan menaruh perban tersebut setelah besuci terlebih dahulu.

3. Butuh air karena hayawan muhtarom yang kehausan. 

Setiap makhluk hidup memerlukan air. Ketika memiliki air dan ingin digunakan untuk berwudhu, tetapi memerlukan air karena kehausan (sekiranya jika tidak minum akan sakit atau bahaya-bahaya yang telah disebutkan sebelumnya), maka diperbolehkan untuk bertayammum dan airnya digunakan untuk minum, baik dirinya sendiri yang memerlukan air tersebut ataupun yang lainnya. Dengan syarat yang memerlukan air adalah hayawan muhtarom. Hayawan muhtarom adalah hewan yang haram untuk dibunuh. Hewan disini mencakup manusia atau bukan, milik sendiri atau orang lain. Namun, jika yang memerlukan air karena kehausan bukan hayawan muhtarom maka air harus digunakan untuk berwudhu dan tidak boleh bertayammum.
Hayawan yang bukan termasuk muhtarom ada 6, yaitu:
1. Orang yang meninggalkan shalat
2. Zani muhshon
3. Kafir yang memerangi islam
4. Murtad
5. Anjing galak
6. Babi
Jika salah satu dari hayawan bukan muhtarom memerlukan air, tetapi air diperlukan untuk bersuci, maka air harus digunakan untuk bersuci dan tidak memperdulikan kehausan dari hayawan bukan muhtarom tersebut.

Itulah sebab-sebab tayammum yang dapat saya sampaikan, sebagaimana kita ketahui kesempurnaan hanyalah milik Allah dan tempat kesalahan dan dosa adalah manusia, oleh karena itu saya mohon maaf atas kekurangan saya.

Wassalam

Rabu, 01 Februari 2017

Perkara Yang Dilarang Bagi Orang Yang Berhadast

Perkara Yang Dilarang Bagi Orang Yang Berhadats


Assalamualaikum wr wb
Seorang yang berhadast maka dilarang melakukan sesuatu yang bergantung pada kesucian. Hadast yang dimaksud adalah mencakup hadast kecil maupun hadast besar. Hadast kecil adalah hal-hal yang mewajibkan wudhu, sedang hadast besar adalah hal-hal yang mewajibkan mandi. Seorang yang terkena hadast kecil maupun besar memiliki larangan atau larangan masing-masing. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:

1). Seorang yang terkena hadast kecil

Seorang yang terkena hadast kecil/ yang tidak memiliki wudhu atau batal wudhunya, maka diharamkan mengerjakan 4 perkara, yaitu:

a. Shalat
Shalat diharamkan bagi orang yang berhadast atau tidak memiliki wudhu. Karena diantara syarat sah shalat adalah harus bersuci. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan tidak (menerima) shadaqah dari harta haram.” Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Allah tidak menerima shalat salah satu diantara kalian jika dia berhadast sampai dia berwudhu.” Artinya shalat tidaklah sah jika tidak berwudhu. Sehingga perbuatan yang tidak sah maka diharamkan untuk dikerjakan. Bukan hanya shalat saja yang diharamkan, tetapi ibadah yang seperti shalat juga diharamkan ketika berhadast. Ibadah-ibadah tersebut yaitu: sujud thilawah, sujud syukur, khutbah jum’at dan shalat jenazah.

b. Thawaf
Thawaf adalah ibadah yang dilakukan dengan mengelilingi ka’bah. Ibadah thawaf sama dengan shalat, sama-sama memerlukan kesucian terlebih dahulu sebelum melaksanakannya. Sehingga thawaf yang dilakukan tanpa bersuci terlebih dahulu juga diharamkan, baik thawaf yang fardhu maupun yang sunnah. Nabi Muhammad sallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Thawaf di baitullah adalah seperti shalat (di dalam kewajiban menutup aurat dan bersuci.)” Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Thawaf adalah shalat, hanya saja Allah menghalalkan (memperbolehkan) berkata di dalamnya. Barangsiapa yang berkata (ketika thawaf) maka berkatalah dengan ucapan baik.”

c. Menyentuh mushaf
Mushaf adalah segala sesuatu yang tertulis Alquran di dalamnya meski sebagian ayat Alquran dan dengan tujuan untuk belajar (dibaca). Seorang yang tidak memliki wudhu (berhadast) maka diharamkam untuk menyentuh mushaf. Allah berfirman dalam Alquran: “Tidak menyentuhnya (Alquran) kecuali orang-orang yang bersuci.” Dalam hadist, Nabi juga bersabda:  “Tidak boleh menyentuh Alquran kecuali orang yang bersuci.”

d. Membawa mushaf Bagi orang yang telah menginjak usia baligh yang berhadast, maka dilarang atau diharamkan membawa mushaf.
Hal ini dikarenakan jika menyentuhnya saja diharamkan atau dilarang maka begitu juga membawanya. Karena membawa lebih dari sekedar menyentuh. Tetapi bagaimana jika membawa mushaf bersama barang lain? maka hal ini diperinci sebagai berikut:

1. Jika hanya bertujuan membawa mushaf saja, maka tidak diperbolehkan (diharamkan).

2. Jika hanya bertujuan membawa barang, maka diperbolehkan.

3. Jika bertujuan membawa keduanya (barang dan mushaf), maka tidak diperbolehkan (diharamkan) menurut Imam Ibn hajar. Namun menurut Imam Ramli maka diperbolahkan.

4. Jika tidak bertujuan membawa apapun (tidak bertujuan membawa barang juga tidak bertujuan membawa mushaf), maka tidak diperbolehkan menurut Imam Ibn Hajar. Namun menurut imam Ramli tetap diperbolehkan.

Tambahan

1. Diperbolehkan bagi anak kecil yang telah menginjak tamyiz membawa mushaf untuk belajar.

2. Tidak boleh menyentuh dan membawa sampul mushaf bagi orang yang berhadast, kecuali jika sampul tersebut tidak dinamakan sampul mushaf lagi (dijadikan sampul kitab lain).

3. Tidak diperbolehkan untuk membawa mushaf bagi orang yang berhadast, kecuali karena hal darurat dan tidak memungkinkan untuk bertayammum terlebih dahulu. Seperti ketika melihat mushaf akan terbakar.

4. Termasuk mushaf adalah terjemahan Alquran. Karena terjemahan Alquran tidak sama seperti tafsir Alquran.

5. Tidak dilarang mendengarkan bacaan Alquran bagi orang kafir, tetapi tidak diperbolehkan untuk menyentuh Alquran. Allah berfirman dalam Alquran: “Dan jika di antara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar kalam Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui.” Apakah diperbolehkan mengajarkan Alquran kepada orang kafir? Jika bisa diharapkan keislamannya (bisa masuk islam) maka diperbolahkan. Namun jika tidak bisa diharapkan keislamannya (tidak mungkin masuk islam) maka tidak diperbolehkan. Tetapi sebagian ulama mengatakan tidak diperbolehkan mengajarkan Alquran kepada orang kafir meski diharapkan masuk islam, hal ini sama dengan menjual mushaf kepada orang kafir, maka hukumnya haram.

2). Orang yang terkena junub/ janabah

Junub adalah memasukan kepala penis atau seukuran kepala penis ke dalam farj, orang yang dimasuki kepala penis atau orang yang keluar mani yang mewajibkan mandi.

Dari pengertian tersebut, orang junub terbagi menjadi 3, yaitu:

1. Seorang yang memasukan kepala penisnya ke dalam farj.

2. Seorang yang farjnya dimasuki kepala penis.

3. Seorang yang terkena kewajiban mandi disebabkan keluar mani.

Seorang yang terkena hadast besar karena junub, maka dilarang/diharamkan melakukan 6 perkara, yaitu:
a. Shalat

b. Thawaf

c. Menyentuh mushaf

d. Membawa mushaf

Penjelasan 4 perkara ini telah dibahas dalam hal-hal yang diharamkan bagi orang yang berhadast.

e. Berdiam di dalam masjid.
Diharamkan bagi orang yang junub untuk tinggal atau berdiam diri di dalam masjib. Meskipun hanya seukuran thumakninah shalat (seukuran bacaan subhanallah). Begitu juga diharamkan taraddud di dalam masjid. Taraddud adalah masuk masjid melalui satu pintu dan keluar dengan pintu tersebut. Adapun lewat saja, yaitu masuk masjid melalui satu pintu dan keluar dengan pintu yang lain maka diperbolehkan. Dengan syarat tidak berdiam di dalam masjid meki sebentar. Allah bersabda: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja.” Termasuk bagian masjid adalah atap, serambi, jendela pada atap, tembok dan banguan bawah tanah masjid. Sehingga orang yang junub haram juga untuk berdiam di tempat-tempat tersebut.

f. Membaca Alquran
Seorang yang junub dilarang atau diharamkan juga untuk membaca Alquran. Tetapi ada beberapa syarat yang harus terpenuhi sehingga haram bagi orang yang junub membaca Alquran. Jika salah satu syarat tidak ada maka bacaan Alquran yang dilakukan oleh orang yang junub tidak haram. Adapun syarat-syarat orang junub membaca Alquran adalah sebagai berikut:

1. Bacaan yang dilakukan adalah dengan lafadz atau suara.
Sehingga tidak haram bacaan Alquran dengan isyarat kecuali bagi orang yang bisu. Maka orang yang bisu yang terkena junub membaca Alquran dengan isyarat hukumnya haram.

2. Bacaan yang dilakukan orang junub bisa terdengar oleh dirinya sendiri.
Jika bacaan yang dilakukan tidak terdengar oleh dirinya sendiri maka tidak haram.

3. Yang membaca adalah orang muslim.

4. Yang membaca adalah orang yang mukallaf (baligh dan berakal).

5. Yang dibaca adalah Alquran.
Jika yang dibaca bukan Alquran, seperti kitab injil atau taurat, maka tidak diharamkan.

6. Ada kesengajaan untuk membaca Alquran.
Jika orang yang junub membaca Alquran dengan tujuan membaca Alquran, bukan dengan tujuan yang lain maka diharamkan. Begitu juga diharamkan ketika membaca Alquran tanpa ada tujuan sama sekali. Tetapi jika membaca Alquran dengan tujuan bukan membaca Alquran, seperti membaca untuk kesembuhan, atau tabarruk (mengambil berkah), atau dengan tujuan membaca Alquran dan tujuan yang lain, maka bacaan yang dilakukan orang junub tersebut tidaklah haram.

7. Bacaan yang dilakukan adalah bacaan sunnah.
Jika bacaan yang dilakukan adalah bacaan wajib maka hukumnya tidak haram. baik bacaan wajib tersebut terdapat di dalam shalat atau di luar shalat. Contoh bacaan wajib dalam shalat adalah membaca surah Alfatihah. Ketika seorang yang terkena junub dan telah tiba waktu shalat, namun tidak menemukan air untuk mandi atau debu untuk tayammum, maka yang wajib ia lakukan adalah shalat meski dalam keadaan junub. Dan wajib membaca Alfatihah. Tetapi tidak diperbolehkan membaca surat selain surat Alfatihah. Contoh bacaan wajib di luar shalat adalah seorang yang bernadzar akan membaca surat yaasiin di waktu tertentu, namun diwaktu yang telah ditentukan dia terkena junub dan tidak menemukan air ataupun debu. Maka ia tetap wajib membaca surat yaasiin di waktu tersebut.

3). Perempuan yang sedang haidh

Perempuan yang haidh diharamkan juga baginya beberapa perkara. Perkara-perkara yang diharamkan bagi perempuan yang sedang mengalami haidh ada 10 macam, yaitu:

1. Shalat
Perempuan yang haidh diharamkan untuk mengerjakan shalat. Meski secara dhohir atau kenyataan mampu mengerjakan shalat, tapi syariat melarang perempuan yang haidh untuk mengerjakan shalat. Jika tetap memaksa mengerjakan shalat maka shalatnya tidak sah meski dia tidak tahu hukumnya atau lupa. Setelah darah haidh berhenti seorang perempuan tidak diwajibkan mengqodho’ shalat yang telah ditinggalkan selama haidh. Jika tetap mengqodho’ maka sebagian ulama mengatakan haram hukumnya. Berbeda dengan puasa. Ketika perempuan telah berhenti dari haidh maka puasa wajib (seperti puasa Ramadhan) yang telah ia tinggalkan selama haidh tetap wajib qodho’. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh sayidah Aisyah, beliau bersabda “Kami diperintahkan untuk mengqodho’ puasa tetapi tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”

2. Thawaf.

3. Menyentuh mushaf

4. Membawa mushaf

5. Berdiam di dalam masjid. Rasulullah sallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Aku tidak menghalalkan masjid bagi perempuan haidh dan orng yang junub.”

6. Membaca Alquran.

7. Puasa. 
Perempuan yang haidh tidah diperbolehkan puasa. Artinya jika berniat puasa maka haram hukumnya. Namun jika ia tidak makan atau tidak minum tetapi tidak berniat puasa maka tidak haram.

8. Cerai. 
Diharamkan bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya ketika haidh. Hal ini dikarenakan masa iddah bagi perempuan yang pernah mengalami haidh adalah dengan 3 kali masa suci. Jika ditalak ketika haidh maka masa iddah bagi perempuan akan lebih lama.

9. Lewat di dalam masjid jika takut mengotori masjid. 
Jika tidak takut mengotori masjid, seperti jika telah tertutup rapat sehingga darah haidh tidak akan mungkin mengotori masjid, maka diperbolehkan baginya untuk lewat di dalam masjid. Namun dimakruhkan jika tidak ada keperluan lewat di dalam masjid.

10. Bersenang-senang dengan anggota badan yang terletak diantara pusar dan lutut.
Artinya perempuan yang haidh haram untuk bersenang-senang dengan suaminya pada anggota tubuh yang terletak antara pusar dan lutut. Baik dengan bersetubuh (dengan penghalang maupun tanpa penghalang), atau dengan selain bersetubuh tapi tanpa penghalang (kulit bertemu dengan kulit).

Demikianlah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan kali ini, dengan penuh harapan semoga kita semua dapat mengambil intisari dari pembahasan tersebut. Kurang lebihnya mohon maaf.

Wassalam.....,